Let me tell you a story about my rain.
My rain which remove the dry in my heart.
Di usiaku yang menjelang kepala dua ini, aku merasakan hal-hal yang aku pikirkan semakin kompleks. Pertanyaan yang sering aku ajukan adalah "mengapa?" atau "apa alasan hal ini bisa terjadi?". Semakin banyak muncul pertanyaan 'mengapa' di pikiranku membuat hatiku terasa gersang. Aku tidak bisa merasakan emosi yang ada saat aku menghadapi hal-hal yang harusnya membuat aku senang. Aku menyebut hatiku sedang ada di musim kemarau.
Kemarau itu sangat panjang, bertahun-tahun lamanya tanpa ada hujan sedetik pun. Aku mulai memohon agar diturunkan hujan yang sangat lama untuk membasahi tanah-tanah di hati yang sudah mulai pecah-pecah karena lama tidak tersiram air.
Suatu hari, aku melihat awan mendung, yang itu artinya, sebentar lagi turun hujan. Ternyata, awan itu hanya menyambarkan petir-petir saja! Awan itu membuat aku makin muak. Sementara sang matahari makin panas suhunya.
Tapi, aku merasa tak ada pilihan lain selain memohon hujan pada awan yang kubenci itu. Karena aku merasa, sudah tak ada pilihan lain, dan awan itulah yang hanya mau memberi hujan di hatiku.
Akhirnya, suatu ketika, aku menemui awan itu. Gengsi, dong, kalau aku berterus terang untuk meminta hujan. Karena aku pernah "mengusirnya" yang sebelumnya menyambarkan petir di hatiku. Aku mengajak dia mengobrol ke sana kemari. Aku bertanya apakah saat ini ia tak ada tugas untuk menurunkan hujan di tempat lain, dan ia mengaku bahwa ia sibuk ke tempat satu dan yang lain. Tiba-tiba, aku iseng bertanya apakah ada yang membayarnya jika dia telah menurunkan hujan di suatu tempat. Dia tertawa, kemudian menjawab, "aku sudah ditugaskan untuk menurunkan hujan".
Setelah itu aku diam. Apakah aku harus memohon hujan padanya?
Tiba-tiba, saat aku akan bilang untuk memohon hujan, dia mengatakan sesuatu yang membuat aku tersentak dan terharu, "kita buat perjanjian, ya?"
"Perjanjian untuk apa?"
"Perjanjian tanggal untuk menurunkan hujan di tempatmu."
Aku belum memohon, wahai hujanku, belum!
Setelah memutuskan tanggal turunnya hujan, aku pulang, dengan pengharapan yang sangat. Entah mengapa, aku langsung percaya padanya, ia akan menurunkan hujan yang deras dan lama, tidak akan menyambarkan petir sekali pun. Dalam pengharapan itu, aku juga takut kecewa. Takut kalau dia tidak datang, takut kalau dia hanya menyambarkan petir seperti dulu.
Dan hari itu tiba, hari sang awan akan datang menurunkan hujan. Pengharapanku semakin besar. Aku berusaha keras menahannya agar tak kecewa. Tapi, aku sudah terlanjur percaya padanya.
Hujan yang sangat deras dan lama telah turun, pada akhirnya. Hatiku sudah tak lagi gersang. Bunga-bunga telah muncul dan mekar dengan banyak dan cepat. Ingin rasanya aku memeluk sang hujanku penghapus kemarau bertahun-tahun. Dia menuruni hujan seakan aku adalah pelanggan setia hujannya yang sudah berlanggan lama. Aku tak ragu untuk menceritakan semua keluh kesahku, dia pun begitu. Kami sudah menjadi teman.
Ku ucapkan terima kasih berkali-kali. Dan ku ucapkan maaf berkali-kali juga, karena telah menyita waktunya, meskipun dia yang menawariku untuk menghujani hatiku. Sebagai tanda terima kasihku yang banyak, kuberikan "hasil panen"ku padanya, kutunjukkan bahwa aku berhasil karenanya. Dia tersenyum lebar saat kuberi itu, Aku sangat terharu, dia senang karena hujan yang ia turunkan menghasilkan "hasil panen" yang bagus.
Lewat tulisan ini, ku ucapkan beribu terima kasih untukmu, sang hujan sehariku penghapus kemarau bertahun-tahun. Aku berharap, kamu tak mengecewakan aku setelah ini. Aku juga sedang berusaha untuk menurunkan hujanku sendiri, tanpa bantuanmu.
Sekali lagi, terima kasih, hujan sehariku penghapus kemarau bertahun-tahun! :)